b. Sejarah
Munculnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua,
bercabang dua bagian. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius
dan kultural.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap
dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu
pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada
pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalh pemisahan
secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama
lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya
lagi dan sebaliknya.[1]
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan
tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak
problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat
diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena,
sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam
karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak
mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern
Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika
berbicara hal-hal yang ghaib, ilmua agama tidak bisa dipandang ilmiah karena
sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris.
Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal
yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok
mereka.[2]
Misalnya dalam perkembangan pendidikan islam dikenal beberapa jenis tempat
belajar (lembaga) Kuttab, masjid, masjid khan, dan madrasah yang hanya
memprioritaskan pengajaran ilmu-ilmu agama saja, Sedangkan teologi dan fllsafat
tidak tumbuh sebagai bagian dari kurikulum pendidikan Karena, pada periode ini
komunitas muslim yang saleh menerima sepenuhnya ajaran Islam tanpa reserve.
Berbeda pada masa kejayaan islam, ilmu pengetahuan baik yang uum ataupun agama
sama-sama mendapat kedudukan yang tinggi dimasyarakat sehingga banyak agamawan
yang juga berprofesi sebagai saintis.
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan
atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada lima
abad pertama Islam (abad ke-7 sampai 11 M.), para ilmuan muslim tidak mengenal
pendikotomian ilmu. Karena pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada
individu-individu, bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga
bercirikan usaha-usaha individual seperti yang dikemukakan diatas.[3]
Kemunduran islam dimulai ketika kejatuhan Baghdad di Timur (1258 m) dan Cordova
di Barat (1236). Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan kemunduran pendidikan
yang ditandai kemunduran intelektual.[4]
Pada perkembangan selajutnya, yaitu pada akhir abad ke-11,
menjelang abad ke-12 M., dikotomi ilmu mulai menjangkiti Islam, pemisahan
antara ilmu agama dan umum mulai digencarkan. Yang pada saat itu, beberapa
proses dan penyebab pendikotomian ilmu telah ditemukan. Madrasah, yang secara
luas didasarkan pada sponsor dan kontrol Negara, umumnya telah dipandang
sebagai sebab kemundurandan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam.
Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab
sebanarnya dari kemunduran tersebut, walaupun tentu saja, ia mempercepat dan
melestarikan kemacetan tersebut. Karena memang kurikulum pada saat itu hanya
terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, sehingga ilmu-ilmu nonagama tidak
diajarkan. Sehingga Umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan
dan peradaban, karena ilmu-ilmu agama cenderung mengajarkan hubungan vertikal
saja. Misalnya pada madrasah Nizamiyyah, bahwa apa yang diajarkan di dalamnya
masih terbuka untuk didiskusikan. Yang perlu dicatat adalah pada masa itu ada
dikotomi antara ilmu agama dan nonagama. Kemenangan sunni pada masa ini, tidak
diikuti dengan apresiasi semangat pencarian ilmu secara umum. Hal ini berarti
bahwa ilmu-ilmu nonagama mutlak tidak diajarkan di sana.[5]
Apabila kita analisis secra mendalam ada beberapa factor
penyebab terjadi dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam yang
pengaruhnya dirasakan sampai sekarang dengan adanya dualisme pendidikan,
meskipun praktek dari dualisme pendidikan dalam kelembagaan sudah di praktekkan
oleh orang-orang muslim jauh sebelumnya. Diantara factor tersebut yaitu:
- hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan dalam peperangan itu.
Tentara mongol menyemblih seluruh penduduk dan menyapu
bersih Baghdad dari permukaan bumi. Dihancurkannya segala macam peradaban dan
pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya, diangkut kitab-kitab yang
telah dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun lalu dihanyutkan ke
dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya lantaran tintanya yang larut.
Maka dengan berakhirnya pemerintahan abbasiyah di Baghdad ikut mengakhiri
kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para filsuf yang
telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dimasa-masa selanjutnya. Dari sini jelas bahwasanya kehancuran kota Baghdad
serta khazanah ilmu pengetahuan yang ada didalamnya mengakibatkan pengetahuan
mengalami mati suri, tidak ada lagi proses eksperimen dan kajian aqliah bahkan
umat islam semakin tenggelam pada kajian agama (naqliah). Yang lama kelamaan
jatuh pada mistik dan khurafat.
- Hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat islam.[6] Dalam sejarah islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik (pendidikan sufi), yang memperhatikan aspek batiniah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pemikiran empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa kejayaan pendidikan islam, kedua pola tersebut
menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi
setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat
(Eropa), dunia islampun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia
islam tinggal pola pemikiran sufistik, sehingga mengabaikan dan tidak
menghasilkan perkembangna budaya islam yang bersifat material. Dari aspek
inilah pendidikan dan kebudayaan islam mngelami kemunduran atau kemandekan, [7]
sehingga praktek dikotomi (pemisahan ilmu) terjadi saat umat
islam berada dalam kebekuan intelektual seperti ini. Terlihat dengan tidak
dimasukkannya pengetahuan (ilmu-ilmu) umum seperti filsafat yang merupakan
induk dari ilmu pengetahuan, serta ilmu-ilmu umum lainnya. Yang lebih
berkembang dan mendapat perhatian umat pada saat itu adalah pendidikan
tradisional dimana dalam praktek madrash-madrasah sufistik sangat ditekankan.
Kehidupan sufipun berkembang dengan pesat dan madrash yang ada diwarnai dengan
kegiatan-kegiatan sufi. Dalam bidang fiqih berkembang taklid buta dikalangan
umat, kitab-kitab fiqih lama dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku.
Serangan Al-Ghazalipun turut membuat hilangya budaya
berpikir ilmiah dikalangan umat islam, karena Imam Al-Ghazali mengkritik para
filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya
dalam buku Tahafut al-Falasifah. Kritik Al-Ghazali ini menyebabkan pengaruh,
tradisi serta semangat ilmuan yang rasional menjadi lenyap karenanya.[8]
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka bisa
diidentifikasikan bahwa dalam sejarah pendidikan Islam pada abad klasik dan
pertengahan keadaan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu-ilmu non
agama" diberikan tidak pemah dalam satu institusi yang sama. Masing-masing
ilmu tersebut tumbuh subur pada lahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian,
sejak zaman pertumbuhannya, pendidikan dalam dunia Islam telah mempraktekkan
dualisme dalam sistem pendidikannya, sehingga berimplikasi terhadap
perkembangan pendidikan Islam sampai sekarang termasuk juga di Indonesia,
meskipun ada upaya-upaya untuk membenahinya tetapi sepertinya perkembangan
pendidikan Islam ketika dalam bentuk pesantren, madrasah dan Institut Agama
Islam Negeri masih belum mampu keluar dari cara pandang dikotomi tersebut.
[1] Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h. 230
[2] Mulyadi
Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy
Mizan, 2005, h. 19-20.
[3] Oleh
Mustamir Anwar , Sejarah Dikotomi Ilmu dan Penolakan Islam Tehadapnya, www.
Google com. April 23, 2010
SEJARAH DIKOTOMI PENDIDIKAN
ISLAM
A.
PENDAHULUAN
Dikotomi didefinisikan sebagai pembagian di
dua kelompok yang saling bertentangan[1][1].
Sebuah realita sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis
bermula dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas,
sains, dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yang pertama
penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap
kreatifitas para ilmuwan muslim pada saat itu, sehingga seolah-olah umat Islam
selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada atau menerima apa
adanya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah
bagaikan ukiran di atas batu yang
disakralkan dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
Kedua, pendikotomian ilmu
yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama sendiri harus
dikuasai oleh setiap muslim, akan tetapi ilmu non agama merupakan anak tiri
yang cenderung diacuhkan, keberadaannya dianggap pelengkap, sehinga umat islam
pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehinga mengesampingkan ilmu non
agama. Hal inilah yang mengakibatkan umat Islam terbelakang dalam hal sains dan
teknologi yang selanjutnya peradabannya juga terbelakang[2][2].
Di indonesia, Persoalan dikotomi merupakan persoalan yang hangat dibicarakan, hal ini merupakan warisan pemerintah kolonial belanda. Akhirnya terjadi pemisahan antara sekolah-sekolah umum dengan sekolah Agama sehingga pendidikan umum terus berkembang dengan bebas tanpa dibatasi oleh kaedah-kaedah Agama. Sedangkan sekolah-sekolah agama terkesan berpendidikan rendah, ber IQ
rendah dan tidak mau menerima kemajuan
teknologi. Untuk itu diperlukan keterpaduan antara ilmu dan agama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT. Kita harus bisa menempatkan ilmu dan agama sesuai pada. tempatnya. Adakalanya hal-hal yang tidak bisa
dipelajari dengan akal (hanya bisa dipelajari
dengan wahyu) dan sebaliknya kita tak bisa menggunakan wahyu dalam hal-hal keduniaan (yang membutuhkan akal untuk mempelajarinya).
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
konsep islam tentang ilmu pengetahuan ?
2.
Sebab-sebab
dan Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya dikotomi ilmu
pengetahuan ?
C.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Islam tentang ilmu pengetahuan
Ziauddin Sardar
mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan
yang diperoleh dalam kitab pengetahuan karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali
(1058 – 1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar akademi Nizamiyah Baghdad.
Al Ghazali menganalisis pengetahuan berdasarkan 3 kriteria, diantaranya :
1.
Sumber
a.
Pengetahuan
yang diwahyukan : pengetahuan ini diperoleh oleh para Nabi dan Rasul.
b.
Pengetahuan
yang tidak diwahyukan : sumber pokok dari ilmu-ilmu ini adalah akal,
pengamatan, percobaan, dan akulturasi (penyesuaian).
2.
Kewajiban
– kewajiban
a.
Pengetahuan
yang diwajibkan pada setiap orang (fardlu ‘ain) : yaitu pengetahuan yang
penting sekali untuk keselamatan seseorang, misalnya : etika sosial,
kesusilaan, dan hukum sipil.
b.
Pengetahuan
yang diwajibkan kepada masyarakat (fardlu kifayah) : yaitu pengetahuan yang
penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat, misalnya : pertanian,
obat-obatan, arsitektur, dan teknik mesin.
3.
Fungsi
sosial
a.
Ilmu-ilmu
yang patut dihargai : yaitu ilmu-ilmu yang berguna dan tidak boleh diabaikan
“karena segala aktifitas hidup bergantung kepadanya”.
b.
Ilmu-ilmu
yang patut dikutuk : termasuk astrologi, magic, berbagai ilmu perang, teknik
genetika, studi ilmiyah mengenai penyiksaan[3][3].
B.
Sejarah timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan
dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sejarah timbulnya dikotomi
ilmu pengetahuan bermula pada masa renaissance di Barat. Dalam
perkembangannya, memiliki sejarah yang panjang dan mengenaskan. Pada mulanya
kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual yang dikuasai
oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Ajaran-ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah, bahkan
semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan
dengan doktrin-doktrin tersebut. Sedangkan jika hasil penemuan tersebut tidak
sejalan dengan doktrin-doktrin yang berlaku dalam aturan orang kristen dan
gereja, maka hasil penemuan tersebut harus dibatlkan demi supremasi gereja. Apabila para ilmuan
pada saat itu tidak mau mengikuti aturan semacam itu, maka pihak gereja akan
menanganinya dengan kekerasan. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuwan
yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan
ilmiahnya, akhirnya mereka menjadi korban kekejaman gereja.
Setelah mendapat kekerasan
dan kekejaman dari kekuasaan gereja, mereka mengadakan koalisi dengan raja
untuk tujuan menumbangkan kekuasaan gereja yang semena-mena. Pada akhirnya
koalisi yang diadakan berhasil menumbangkan kekuasaan gereja. Akhirnya setelah
tumbangnya kekuasaan gereja, maka dengan sendirinya muncullah reneissance.
Dalam kelanjutannya, masa renaissance ini melahirkan sekulerisasi
dan kemudian sekulerisasi ini melahirkan dikotomi ilmu[4][4].
Ajaran-ajaran agama (dalam
hal ini kristen yang dilembagakan oleh gereja ) secara konseptual dan aplikatif
dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreatifitas ilmuan dan tentu juga
bagi kemajuan peradaban.
Lahirnya sekulerisasi yang
kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuwan untuk
berkreatif melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa
dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan
dialektikannya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis,
sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi
sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan
pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu
memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi Pendidikan Islam
mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi bahwa Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas)
dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi. Memang
secara metodologis, menurut tradisi barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu
apapun termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektifitas, tidak boleh terpengaruh
oleh tradisi, ideologi, agama, maupun golongan tertentu. Hal itu dikarenakan
ilmu harus steril dari pengaruh-pengaruh faktor tersebut. Sedangkan faktor
kemanusiaan lebih sering menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi
segala sesuatu, sehingga lebih mengesampingkan obyektifitas yang pada akhirnya
pertimbangan kemanusiaan cenderung menggunakan moral dalam mengukur suatu
kebenaran, sehinggga menganaktirikan obyektifitas. Hal ini dapat dibuktikan
dengan memihaknya ilmu-ilmu sosial pada obyektifitas dan kemanusiaan terhadap
moral ketika terjadi benturan diantara keduanya. Dalam hal ini memang agak
susah dikompromikan[5][5].
Memang kalau dipandang dari
perspektif kemanusiaan, pertimbangan moral justru memberikan keputusan yang
bijaksana. Akan tetapi kalau dipandang dari sudut ilmu, pertimbangan tersebut
malah diangggap menodai kebenaran, karena mengedepankan subyektifitas[6][6].
Misalnya seorang kelaparan
mencuri ayam milik orang lain, sekedar menghilangkan rasa laparnya. Kalau
dilihat dari kedua pertimbangan tadi, maka akan terjadi keputusan yang berbeda,
bahkan keduanya saling bertolak belakang. Secara kemanusiaan, mencuri yang
seperti itu tidak perlu mendapatkan hukuman, bahkan kalau perlu harus
dibebaskan karena tindakan tersebut bertujuan menjaga jiwa agar tetap hidup.
Sedangkan kalau secara pertimbangan obyektif, pencuri itu harus dihukum sebagai
wujud dari tegaknya hukum yang tak kenak diskriminasi.
Mujamil Qomar (2005)
menambahi dengan mengutip dari Ziauddin Sardar, bahwa selain dikotomi dengan
pertimbangan moral (subyektifitas) dan obyektif, juga antara nilai dan fakta,
realitas obyektif dan nilai-nilai subyektifitas, yaitu antara pengamat dan
dunia luar. Sedangkan antara keduanya terpisah dan pada posisinya
msing-masing dalam pandangan Barat,
fakta tetap fakta, tidak bisa diwarnai dengan nnilai-nilai tertetu. Dalam hal
ini, dicontohkan seperti halnya fakta eksakta, katakanlah sifat air yang
mengalir ke tempat yang lebih rendah, adalah tidak bisa dipengaruhi oleh nilai
tertentu. Misalnya juga dalam perpolitikan, pada dasarnya orang lebih mengejar
profit daripada bersifat demokratis, ini sebagai fakta sosial, sehingga nilai
tertentu tidak bisa mengubah kecendrungan tersebut, seperti halnya rakyat
berubah menginginkan tindakan otoriter terhadap dirinya sendiri.
Dalam hal tersebut
dikarenakan nilai labih bersifat ide (meminjam bahasanya plato), sehingga ia
bersifat abstrak,tidak bisa disentuh oleh panca indera, ia hanya bisa dihayati.
Sedangkan yang dapat ditangkap oleh panca indera adalah perbuatan yang
mengandung nilai itu sendiri. Nilai berbeda dengan fakta, ia bukan fakta,
bahkan di Barat nilai harus dipisahkan dari fakta. Kemurnian fakta tersbut
berbentuk menjadi kenyataan (realita) maka ia disebut konkret, sehingga dapat
diketahui. Soal pengetahuan adalah kebenaran, sedangkan penghayatan adalah soal
kepuasan. Persoalan kepuasan adalah hati, maka soal nilai bukan dari benar atau
salah, dikehendaki atau tidak, disenangi atau dibenci, sehingga nilai ini
bersifat subyektif.
Begitu juga tindakan
manusia digerakkan oleh nilai-nilai, sedangkan sesuatu yang dipandang berharga
berarti mengandung nilai. Padahal tindakan atau perbuatab yang sama bisa
memiliki nilai dan penghargaan yang berbeda. Hal ini bisa dicontohkan dengan
perampokan yang disertai pembunuhan adalah kejahatan, sedangkan membunuh musuh
pada waktu perang adalah sebuah kebanggaan yang tentunya merupakan tindakan
terpuji. Dari keduanya mempunyai fakta yang sama, yaitu pembunuhan, akan tetapi
mempunyai nilai yang berbeda[7][7].
Lain halnya dengan
pemisahan antara pengamat dengan dunia luar (obyek yang diamati) karena obyek
menyatakan fakta apa adanya, sedangkan pengamat selalu dipengaruhi oleh latar
belakang intelektualnya, sudut pandangnya, dan kecendrungannya dalam melihat
sesuatu obyek yang diamati tersebut. Sehingga dalam pengamatan ini memiliki
berbagai penafsiran yang berbeda antara pengamat satu dengan pengamat yang
lain. Suatu obyek menunjukkan suatu kenyataan yang masih murni, sedangkan
pengamat memiliki pandangan yang cenderung memberikan penilaian yang mengurangi
obyek itu sendiri. Oleh karena itu, pengamat tidak boleh melibatkansesuatu yang
ada pada dirinya ke dalam obyek. Dengan kata lain pengamat harus menjaga baik
obyek yang diamati dan menjaga jaraj terhadap obyek pengamatan. Sebaliknya
obyek harus dinyatakan sesuai dengan kenyataan yang ada padanya tanpa ditambahi
ataupun dikurangi sedikitpun. Kenyataan inilah yang dapat dipegangi oleh ilmu
sebagai ilmu kebenaran[8][8].
D.
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
a)
Kesimpulan
:
1.
Sebuah
realita sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis bermula
dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains,
dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yang pertama penutupan
pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap
kreatifitas para ilmuwan muslim pada saat itu, sehinga seolah-olah umat Islam
selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada atau menerima apa
adanya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah
bagaikan ukiran di atas batu yang
disakralkan dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
kedua,
pendikotomian ilmu yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu
agama sendiri harus dikuasai oleh setiap muslim, akan tetapi ilmu non agama
merupakan anak tiri yang cenderung diacuhkan, keberadaannya dianggap pelengkap,
sehinga umat islam pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehinga
mengesampingkan ilmu non agama. Hal inilah yang mengakibatkan umat Islam
terbelakang dalam hal sains dan teknologi yang selanjutnya peradabannya juga
terbelakang.
2.
Sebab-
sebab dan Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan
antara lain :
a.
Timbulnya
dikotomi ilmu pengetahuan bermula pada masa renaissance di Barat. Dalam
perkembangannya, memiliki sejarah yang panjang dan mengenaskan. Pada mulanya
kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual yang dikuasai
oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Ajaran-ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penetu kebenaran ilmiah, bahkan
senua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan
dengan doktrin-doktrin tersebut
b.
Adanya
perbedaan pandangan antara penganut agama dengan ilmuwan untuk mencari
kebenaran.
c.
Ketidakberanian
pemeluk agama untuk mempelajari lebih dalam tentang ilmu pengetahuan, karena
mereka mempunyai pemikiran ilmu tersebut adalah ilmu Tuhan yang tidak pantas
dipelajari lebih jauh.
b)
Penutup
Demikian makalah yang saya susun, saran dan
kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Abdurrahman. Menggaas
Format Pendidikan Non dikotomik, Yogyakarta : Gama Media. 2002.
Rahman, Fazlur. Islam,
Bandung : Pustaka. Cetakan ke V. 2003.
Sardar, Ziauddin. Sains
Teknologi dan pembangunan di dunia islam. terjemahan. Rahmani
Astuti. Bandung : Pustaka, 1989.
Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep
yang holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat
pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam
mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang
menuntut ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran
menegaskan bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan
orang-orang yang tidak berpengetahuan.[9][2] Dari
ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak
pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama
merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan
integral.
Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah
artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya
dalam kitab pengetahuan karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111).
Al-ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al- ghazali
mengemukakan ilmu penngetahuan berdasarkan tiga kriteria:[10][3]
1.
Sumber
a.
Pengetahuan
yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khuasus oleh para nabi dan rasul.
Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu
yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
b.
Pengetahuan
yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal,
penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2.
Kewajiban-kewajiban
a.
Pengetahuan
yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting
sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan
hukum sipil.
b.
Pengetahuan
yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang
penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian,
obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin
3.
Fungsi sosial
a.
Ilmu-ilmu yang
patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan
karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b.
Ilmu-ilmu yang
patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami
bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua buah kultur yang saling
berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral. Pertentangan ilmu
pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani
dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang
pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
C.
Dikotomi Ilmu
Pengetahuan
Dikotomi adalah pembagian ke dalam dua konsep
yang saling bertentangan.[11][4]
Dikotomi pengetahuan ini muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan
dengan masa Renaissance di Barat. Masa Renaissance inilah yang
telah melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari
sekulerisasi ini lahirlah dikotomi ilmu pengetahuan.[12][5]
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah
paradigma yang selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan.
Adanya dikotomi pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi pendidikan
itu sendiri. Ada pendidikan berkecimpung pada ilmu pengetahuan modern yang jauh
dari nilai-nilai agama, Ada pula pendidikan yang hanya konsen pada pengetahuan
agama yang terkadang dipahami penuh dengan kejumudan serta jauh dari ilmu
pengetahuan. Memberikan implikasi yang jelek terhadap pendidikan agama itu
sendiri. Secara teoritis dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan
jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu
tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.[13][6]
Berangkat dari definisi di
atas dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisahan atau pembagian suatu
ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya memiliki makna yang berbeda.
Dilihat dari kacamata Islam, bahwa ia menganggap ilmu pengetahuan sebagai
sesuatu yang utuh dan integral.
Dewasa ini, bila dicermati para ilmuan
cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan.
Sehingga hal inilah yang mendorong Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar dan Ismail
Raji al-Faruqi untuk mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka
merupakan pelopor istilah islamisasi ilmu pengetahuan.[14][7]
Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutip
oleb Samsul Nizar dan Ramayulis zaman kemunduran Islam telah membawa umat Islam
berada di anak tangga-tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di samping itu
al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai akan syarat dengan
nilai. Mensikapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan adalah cukup dengan
mengislamisasikan ilmu tersebut tidak perlu orangnya. Tujuannya adalah agar
yang mempelajari ilmu tersebut bisa terpola lansung pemikiran dan
tingkahlakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu pengetahuan, jalan yang harus
dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam
berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan
pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.[15][8]
Disisi lain, masyarakat muslim melihat akan
kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Konsekuensinya adalah kaum
muslim terkontaminasi oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi
dengan jalan westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat
Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sesuatu yang sangat dilematis
apabila ingin maju dengan meniru cara dan gaya Barat tetapi justru yang
didapatkan adalah kehancuran. Semuanya disebabkan ketidakmampuan menfilter dari
apa yang diadopsi dari Barat tersebut.[16][9]
Akar munculnya dikotomi ilmu disebabkan oleh
proses rekonstruksi ilmu itu sendiri. Proses Rekonstruktivisme tersebut adalah
bahwa apa yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat dan apa yang dibantah
oleh Ibn Rusdy, dan apa yanng dipahami masyakat awam terhadap polemik tersebut
sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi ilmu dan juga apa yang dilakukan
oleh Barat dalam merekonstri ilmu telah memperdalam terjal terhadap pemahaman
akan dikotomi ilmu pada masyarakat umumnya.
Setidak-tidaknya ilmu pengetahuan itu ada dua.
Pertama terbagi akan tiga yakni:[17][10]
1. Ilmu Alam (Natural Science)
2. Ilmu Sosial (Social Science)
3. Ilmu Agama
Pendapat kedua, berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan itu dibagi dua yakni :
1. Natural Science
2. Natural Social, untuk ilmu agama dimasukan atau
dikelompokan ke dalam social science.
Demikianlah bila dicermati perkembangan
rekonstruksi ilmu pengetahuan yang menyebabkan lahirnya dikotomi (pemisahan)
antara ilmu umum dengan ilmu agama dalam pendidikan.
D.
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para
pemikir Islam adalah pengintegrasian kembali ilmu umum dan ilmu keIslaman.
Istilah yang popular dalam konteks integrasi ini adalah
Islamisasi. Menurut Imadudin Khalil Islamisasi ilmu penngetahuan berarti
melakukan suatu aktivitas keilmuan seperti mengungkap, mengumpulkan,
menghubungkan dan menyeberluaskannya menurut sudut pandang Islam terhadap alam,
kehidupan dan manusia. Sedangkan menurut al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku
pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin
ilmu modern dengan wawasan (vision) Islam.[18][11]
Upaya pengintegrasian ilmu pengetahuan itu
telah diupayakan oleh pemikir Islam di antaranya Al Faruqi dari Temple
University, ia menyebut proses integrasi tersebut dengan istilah islamisasi.[19][12]
Upaya yang dilakukan dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan adalah meletakan
prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistimologi ilmu pengetahuan.
Bagaiamana ilmu-ilmu yang berkembang diIslamisasikan. Sebagai tolak ukurnya
adalah penyesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah.
E.
Penutup
Sebagai kesimpulan dari paparan makalah ini
adalah sejarah dikotomi tersebut sudah dimulai sejak abad pertengahan atau masa
kemajuan Islam periode Abbasiyah. Dalam Islam sesungguhnya tidak ada pemilahan
ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama merupakan sesuatu
yang integral. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama dianalogikan ibarat dua sisi
mata uang yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, seperti
itulah Islam memandang keduanya tersebut.
Bila
ilmu disikapi dengan dikotomi maka tentu akan melahirkan pemikiran yang berbeda
dalam membangun peradaban dunia, namun bagaimana mengintegralkan dikotomi
pengetahuan tersebut. Konsep yang ditawarkan dalam mensikapi dikotomi ini
adalah apa yang yang disebut oleh al-Faruqi dengan Islamisasi ilmu yakni proses
filterisasi terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat dengan landasan atau
disesuaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Daftar Pustaka
Bakir,
R. Suyoto dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang:
KARISMA Publishing Group, 2009.
Daulay,
H. Haidar Putra, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Nizar,
H. Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Qomar,
Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik, Jakarta: Erlangga, 2007.
http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011)
[20][1]
http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011)
[1][1] John M. Echols dan Hassan
Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta :
PT. Gramedia Utama, 1992), h. 180.
[2][2] Abdurrahman Mas’ud , Menggagas format pendidikan
Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.17.
[3][3] Sardar, Ziauddin, Sains Teknologi, dan pembangunan di
dunia islam, terjemahan. Rahmani Astuti, bandung : pustaka, 1989. Hal.65.
[7][7] Sardar, Ziauddin, Sains Teknologi, dan pembangunan di
dunia islam, terjemahan. Rahmani Astuti, bandung : pustaka, 1989. Hal.76.
[8][8] Abdurrahman Mas’ud , Menggagas format pendidikan
Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.111.
[9][2] H. Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008, h. 228.
[10][3] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011)
[11][4] R. Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang: KARISMA Publishing Group, 2009, h.
138.
[12][5] Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga, 2007, h. 75.
[13][6] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011)
[15][8] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011)
[18][11] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
(Online 03 Desember 2011).
[19][12] H. Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2004, h. 192.
0 komentar:
Posting Komentar