Rabu, 05 Juni 2013

mkalah sejarah pendidikan islam



b. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya. Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.
Adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini berimplikasi terhadap dikotomi model pendidikan. Disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalh pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[1]
Pendikotomian ilmu yang pada awalnya memang merupakan tradisi islam lebih dari seribu tahun silam, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imprealisme. Hal ini terjadi karena, sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan non agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal di dunia Islam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara hal-hal yang ghaib, ilmua agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.[2] Misalnya dalam perkembangan pendidikan islam dikenal beberapa jenis tempat belajar (lembaga) Kuttab, masjid, masjid khan, dan madrasah yang hanya memprioritaskan pengajaran ilmu-ilmu agama saja, Sedangkan teologi dan fllsafat tidak tumbuh sebagai bagian dari kurikulum pendidikan Karena, pada periode ini komunitas muslim yang saleh menerima sepenuhnya ajaran Islam tanpa reserve. Berbeda pada masa kejayaan islam, ilmu pengetahuan baik yang uum ataupun agama sama-sama mendapat kedudukan yang tinggi dimasyarakat sehingga banyak agamawan yang juga berprofesi sebagai saintis.
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada lima abad pertama Islam (abad ke-7 sampai 11 M.), para ilmuan muslim tidak mengenal pendikotomian ilmu. Karena pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada individu-individu, bukannya sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual seperti yang dikemukakan diatas.[3] Kemunduran islam dimulai ketika kejatuhan Baghdad di Timur (1258 m) dan Cordova di Barat (1236). Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual.[4]
Pada perkembangan selajutnya, yaitu pada akhir abad ke-11, menjelang abad ke-12 M., dikotomi ilmu mulai menjangkiti Islam, pemisahan antara ilmu agama dan umum mulai digencarkan. Yang pada saat itu, beberapa proses dan penyebab pendikotomian ilmu telah ditemukan. Madrasah, yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol Negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemundurandan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebanarnya dari kemunduran tersebut, walaupun tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Karena memang kurikulum pada saat itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, sehingga ilmu-ilmu nonagama tidak diajarkan. Sehingga Umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan dan peradaban, karena ilmu-ilmu agama cenderung mengajarkan hubungan vertikal saja. Misalnya pada madrasah Nizamiyyah, bahwa apa yang diajarkan di dalamnya masih terbuka untuk didiskusikan. Yang perlu dicatat adalah pada masa itu ada dikotomi antara ilmu agama dan nonagama. Kemenangan sunni pada masa ini, tidak diikuti dengan apresiasi semangat pencarian ilmu secara umum. Hal ini berarti bahwa ilmu-ilmu nonagama mutlak tidak diajarkan di sana.[5]
Apabila kita analisis secra mendalam ada beberapa factor penyebab terjadi dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam yang pengaruhnya dirasakan sampai sekarang dengan adanya dualisme pendidikan, meskipun praktek dari dualisme pendidikan dalam kelembagaan sudah di praktekkan oleh orang-orang muslim jauh sebelumnya. Diantara factor tersebut yaitu:
  1. hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan dalam peperangan itu.
Tentara mongol menyemblih seluruh penduduk dan menyapu bersih Baghdad dari permukaan bumi. Dihancurkannya segala macam peradaban dan pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya, diangkut kitab-kitab yang telah dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun lalu dihanyutkan ke dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya lantaran tintanya yang larut. Maka dengan berakhirnya pemerintahan abbasiyah di Baghdad ikut mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Dari sini jelas bahwasanya kehancuran kota Baghdad serta khazanah ilmu pengetahuan yang ada didalamnya mengakibatkan pengetahuan mengalami mati suri, tidak ada lagi proses eksperimen dan kajian aqliah bahkan umat islam semakin tenggelam pada kajian agama (naqliah). Yang lama kelamaan jatuh pada mistik dan khurafat.
  1. Hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat islam.[6] Dalam sejarah islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik (pendidikan sufi), yang memperhatikan aspek batiniah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional, yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pemikiran empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa kejayaan pendidikan islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa), dunia islampun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia islam tinggal pola pemikiran sufistik, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangna budaya islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan dan kebudayaan islam mngelami kemunduran atau kemandekan, [7]
sehingga praktek dikotomi (pemisahan ilmu) terjadi saat umat islam berada dalam kebekuan intelektual seperti ini. Terlihat dengan tidak dimasukkannya pengetahuan (ilmu-ilmu) umum seperti filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan, serta ilmu-ilmu umum lainnya. Yang lebih berkembang dan mendapat perhatian umat pada saat itu adalah pendidikan tradisional dimana dalam praktek madrash-madrasah sufistik sangat ditekankan. Kehidupan sufipun berkembang dengan pesat dan madrash yang ada diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Dalam bidang fiqih berkembang taklid buta dikalangan umat, kitab-kitab fiqih lama dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku.
Serangan Al-Ghazalipun turut membuat hilangya budaya berpikir ilmiah dikalangan umat islam, karena Imam Al-Ghazali mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah. Kritik Al-Ghazali ini menyebabkan pengaruh, tradisi serta semangat ilmuan yang rasional menjadi lenyap karenanya.[8]
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka bisa diidentifikasikan bahwa dalam sejarah pendidikan Islam pada abad klasik dan pertengahan keadaan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu-ilmu non agama" diberikan tidak pemah dalam satu institusi yang sama. Masing-masing ilmu tersebut tumbuh subur pada lahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sejak zaman pertumbuhannya, pendidikan dalam dunia Islam telah mempraktekkan dualisme dalam sistem pendidikannya, sehingga berimplikasi terhadap perkembangan pendidikan Islam sampai sekarang termasuk juga di Indonesia, meskipun ada upaya-upaya untuk membenahinya tetapi sepertinya perkembangan pendidikan Islam ketika dalam bentuk pesantren, madrasah dan Institut Agama Islam Negeri masih belum mampu keluar dari cara pandang dikotomi tersebut.


[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h. 230
[2] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy Mizan, 2005, h. 19-20.
[3] Oleh Mustamir Anwar , Sejarah Dikotomi Ilmu dan Penolakan Islam Tehadapnya, www. Google com. April 23, 2010
[4] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, h.237
[5] Oleh Mustamir Anwar , Op, cit.,
[6] Samsul Nizar., Op. cit., h. 233-234.
[7] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 109
[8] Samsul Nizar, Op,cit., h. 234
SEJARAH DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM


A.       PENDAHULUAN 
Dikotomi didefinisikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan[1][1]. Sebuah realita sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis bermula dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains, dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yang pertama penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap kreatifitas para ilmuwan muslim pada saat itu, sehingga seolah-olah umat Islam selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada atau menerima apa adanya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah bagaikan ukiran  di atas batu yang disakralkan dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
Kedua, pendikotomian ilmu yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama sendiri harus dikuasai oleh setiap muslim, akan tetapi ilmu non agama merupakan anak tiri yang cenderung diacuhkan, keberadaannya dianggap pelengkap, sehinga umat islam pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehinga mengesampingkan ilmu non agama. Hal inilah yang mengakibatkan umat Islam terbelakang dalam hal sains dan teknologi yang selanjutnya peradabannya juga terbelakang[2][2].
Di indonesia, Persoalan dikotomi merupakan persoalan yang hangat dibicarakan, hal ini merupakan warisan pemerintah kolonial belanda. Akhirnya terjadi pemisahan antara sekolah-sekolah umum dengan sekolah Agama sehingga pendidikan umum terus berkembang dengan bebas tanpa dibatasi oleh kaedah-kaedah Agama. Sedangkan sekolah-sekolah agama terkesan berpendidikan rendah, ber IQ rendah dan tidak mau menerima kemajuan teknologi. Untuk itu diperlukan keterpaduan antara ilmu dan agama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT. Kita harus bisa menempatkan ilmu dan agama sesuai pada. tempatnya. Adakalanya hal-hal yang tidak bisa dipelajari dengan akal (hanya bisa dipelajari dengan wahyu) dan sebaliknya kita tak bisa menggunakan wahyu dalam hal-hal keduniaan (yang membutuhkan akal untuk mempelajarinya).

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana konsep islam tentang ilmu pengetahuan ?
2.    Sebab-sebab dan Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan ?

C.       PEMBAHASAN
A.     Konsep Islam tentang ilmu pengetahuan
Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam kitab pengetahuan karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali (1058 – 1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar akademi Nizamiyah Baghdad. Al Ghazali menganalisis pengetahuan berdasarkan 3 kriteria, diantaranya :
1.         Sumber
a.         Pengetahuan yang diwahyukan : pengetahuan ini diperoleh oleh para Nabi dan Rasul.
b.        Pengetahuan yang tidak diwahyukan : sumber pokok dari ilmu-ilmu ini adalah akal, pengamatan, percobaan, dan akulturasi (penyesuaian).

2.         Kewajiban – kewajiban
a.         Pengetahuan yang diwajibkan pada setiap orang (fardlu ‘ain) : yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seseorang, misalnya : etika sosial, kesusilaan, dan hukum sipil.
b.        Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardlu kifayah) : yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat, misalnya : pertanian, obat-obatan, arsitektur, dan teknik mesin.
3.         Fungsi sosial
a.         Ilmu-ilmu yang patut dihargai : yaitu ilmu-ilmu yang berguna dan tidak boleh diabaikan “karena segala aktifitas hidup bergantung kepadanya”.
b.        Ilmu-ilmu yang patut dikutuk : termasuk astrologi, magic, berbagai ilmu perang, teknik genetika, studi ilmiyah mengenai penyiksaan[3][3].

B.                               Sejarah timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sejarah timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan bermula pada masa renaissance di Barat. Dalam perkembangannya, memiliki sejarah yang panjang dan mengenaskan. Pada mulanya kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual yang dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah, bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin tersebut. Sedangkan jika hasil penemuan tersebut tidak sejalan dengan doktrin-doktrin yang berlaku dalam aturan orang kristen dan gereja, maka hasil penemuan tersebut harus dibatlkan  demi supremasi gereja. Apabila para ilmuan pada saat itu tidak mau mengikuti aturan semacam itu, maka pihak gereja akan menanganinya dengan kekerasan. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuwan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya, akhirnya mereka menjadi korban kekejaman gereja.
Setelah mendapat kekerasan dan kekejaman dari kekuasaan gereja, mereka mengadakan koalisi dengan raja untuk tujuan menumbangkan kekuasaan gereja yang semena-mena. Pada akhirnya koalisi yang diadakan berhasil menumbangkan kekuasaan gereja. Akhirnya setelah tumbangnya kekuasaan gereja, maka dengan sendirinya muncullah reneissance. Dalam kelanjutannya, masa renaissance ini melahirkan sekulerisasi dan kemudian sekulerisasi ini melahirkan dikotomi ilmu[4][4].
Ajaran-ajaran agama (dalam hal ini kristen yang dilembagakan oleh gereja ) secara konseptual dan aplikatif dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreatifitas ilmuan dan tentu juga bagi kemajuan peradaban.
Lahirnya sekulerisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuwan untuk berkreatif melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikannya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi Pendidikan Islam mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi bahwa Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi. Memang secara metodologis, menurut tradisi barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apapun termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektifitas, tidak boleh terpengaruh oleh tradisi, ideologi, agama, maupun golongan tertentu. Hal itu dikarenakan ilmu harus steril dari pengaruh-pengaruh faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan lebih sering menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga lebih mengesampingkan obyektifitas yang pada akhirnya pertimbangan kemanusiaan cenderung menggunakan moral dalam mengukur suatu kebenaran, sehinggga menganaktirikan obyektifitas. Hal ini dapat dibuktikan dengan memihaknya ilmu-ilmu sosial pada obyektifitas dan kemanusiaan terhadap moral ketika terjadi benturan diantara keduanya. Dalam hal ini memang agak susah dikompromikan[5][5].
Memang kalau dipandang dari perspektif kemanusiaan, pertimbangan moral justru memberikan keputusan yang bijaksana. Akan tetapi kalau dipandang dari sudut ilmu, pertimbangan tersebut malah diangggap menodai kebenaran, karena mengedepankan subyektifitas[6][6].
Misalnya seorang kelaparan mencuri ayam milik orang lain, sekedar menghilangkan rasa laparnya. Kalau dilihat dari kedua pertimbangan tadi, maka akan terjadi keputusan yang berbeda, bahkan keduanya saling bertolak belakang. Secara kemanusiaan, mencuri yang seperti itu tidak perlu mendapatkan hukuman, bahkan kalau perlu harus dibebaskan karena tindakan tersebut bertujuan menjaga jiwa agar tetap hidup. Sedangkan kalau secara pertimbangan obyektif, pencuri itu harus dihukum sebagai wujud dari tegaknya hukum yang tak kenak diskriminasi.
Mujamil Qomar (2005) menambahi dengan mengutip dari Ziauddin Sardar, bahwa selain dikotomi dengan pertimbangan moral (subyektifitas) dan obyektif, juga antara nilai dan fakta, realitas obyektif dan nilai-nilai subyektifitas, yaitu antara pengamat dan dunia luar. Sedangkan antara keduanya terpisah dan pada posisinya msing-masing  dalam pandangan Barat, fakta tetap fakta, tidak bisa diwarnai dengan nnilai-nilai tertetu. Dalam hal ini, dicontohkan seperti halnya fakta eksakta, katakanlah sifat air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah, adalah tidak bisa dipengaruhi oleh nilai tertentu. Misalnya juga dalam perpolitikan, pada dasarnya orang lebih mengejar profit daripada bersifat demokratis, ini sebagai fakta sosial, sehingga nilai tertentu tidak bisa mengubah kecendrungan tersebut, seperti halnya rakyat berubah menginginkan tindakan otoriter terhadap dirinya sendiri.
Dalam hal tersebut dikarenakan nilai labih bersifat ide (meminjam bahasanya plato), sehingga ia bersifat abstrak,tidak bisa disentuh oleh panca indera, ia hanya bisa dihayati. Sedangkan yang dapat ditangkap oleh panca indera adalah perbuatan yang mengandung nilai itu sendiri. Nilai berbeda dengan fakta, ia bukan fakta, bahkan di Barat nilai harus dipisahkan dari fakta. Kemurnian fakta tersbut berbentuk menjadi kenyataan (realita) maka ia disebut konkret, sehingga dapat diketahui. Soal pengetahuan adalah kebenaran, sedangkan penghayatan adalah soal kepuasan. Persoalan kepuasan adalah hati, maka soal nilai bukan dari benar atau salah, dikehendaki atau tidak, disenangi atau dibenci, sehingga nilai ini bersifat subyektif.
Begitu juga tindakan manusia digerakkan oleh nilai-nilai, sedangkan sesuatu yang dipandang berharga berarti mengandung nilai. Padahal tindakan atau perbuatab yang sama bisa memiliki nilai dan penghargaan yang berbeda. Hal ini bisa dicontohkan dengan perampokan yang disertai pembunuhan adalah kejahatan, sedangkan membunuh musuh pada waktu perang adalah sebuah kebanggaan yang tentunya merupakan tindakan terpuji. Dari keduanya mempunyai fakta yang sama, yaitu pembunuhan, akan tetapi mempunyai nilai yang berbeda[7][7].
Lain halnya dengan pemisahan antara pengamat dengan dunia luar (obyek yang diamati) karena obyek menyatakan fakta apa adanya, sedangkan pengamat selalu dipengaruhi oleh latar belakang intelektualnya, sudut pandangnya, dan kecendrungannya dalam melihat sesuatu obyek yang diamati tersebut. Sehingga dalam pengamatan ini memiliki berbagai penafsiran yang berbeda antara pengamat satu dengan pengamat yang lain. Suatu obyek menunjukkan suatu kenyataan yang masih murni, sedangkan pengamat memiliki pandangan yang cenderung memberikan penilaian yang mengurangi obyek itu sendiri. Oleh karena itu, pengamat tidak boleh melibatkansesuatu yang ada pada dirinya ke dalam obyek. Dengan kata lain pengamat harus menjaga baik obyek yang diamati dan menjaga jaraj terhadap obyek pengamatan. Sebaliknya obyek harus dinyatakan sesuai dengan kenyataan yang ada padanya tanpa ditambahi ataupun dikurangi sedikitpun. Kenyataan inilah yang dapat dipegangi oleh ilmu sebagai ilmu kebenaran[8][8].

D.       KESIMPULAN   DAN PENUTUP
a)      Kesimpulan :
1.      Sebuah realita sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis bermula dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains, dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yang pertama penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap kreatifitas para ilmuwan muslim pada saat itu, sehinga seolah-olah umat Islam selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada atau menerima apa adanya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah bagaikan ukiran  di atas batu yang disakralkan dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
kedua,  pendikotomian ilmu yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama sendiri harus dikuasai oleh setiap muslim, akan tetapi ilmu non agama merupakan anak tiri yang cenderung diacuhkan, keberadaannya dianggap pelengkap, sehinga umat islam pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehinga mengesampingkan ilmu non agama. Hal inilah yang mengakibatkan umat Islam terbelakang dalam hal sains dan teknologi yang selanjutnya peradabannya juga terbelakang.
2.      Sebab- sebab dan Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan antara lain :
a.       Timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan bermula pada masa renaissance di Barat. Dalam perkembangannya, memiliki sejarah yang panjang dan mengenaskan. Pada mulanya kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual yang dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penetu kebenaran ilmiah, bahkan senua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin tersebut
b.      Adanya perbedaan pandangan antara penganut agama dengan ilmuwan untuk mencari kebenaran.
c.       Ketidakberanian pemeluk agama untuk mempelajari lebih dalam tentang ilmu pengetahuan, karena mereka mempunyai pemikiran ilmu tersebut adalah ilmu Tuhan yang tidak pantas dipelajari lebih jauh.
b)      Penutup
Demikian makalah yang saya susun, saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini.


E.     DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Abdurrahman. Menggaas Format Pendidikan Non dikotomik, Yogyakarta : Gama Media. 2002.
Rahman, Fazlur. Islam, Bandung : Pustaka. Cetakan ke V. 2003.
Sardar, Ziauddin. Sains Teknologi dan pembangunan di dunia islam. terjemahan. Rahmani Astuti. Bandung : Pustaka, 1989.


Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran menegaskan bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.[9][2] Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral.
Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111). Al-ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al- ghazali mengemukakan ilmu penngetahuan berdasarkan tiga kriteria:[10][3]
1.      Sumber
a.       Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khuasus oleh para nabi dan rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
b.      Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).

2.      Kewajiban-kewajiban
a.       Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan hukum sipil.
b.      Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin
3.      Fungsi sosial
a.       Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b.      Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
C.    Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Dikotomi adalah pembagian ke dalam dua konsep yang saling bertentangan.[11][4] Dikotomi pengetahuan ini muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa Renaissance di Barat. Masa Renaissance inilah yang telah melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari sekulerisasi ini lahirlah dikotomi ilmu pengetahuan.[12][5]
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi pendidikan itu sendiri. Ada pendidikan berkecimpung pada ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai agama, Ada pula pendidikan yang hanya konsen pada pengetahuan agama yang terkadang dipahami penuh dengan kejumudan serta jauh dari ilmu pengetahuan. Memberikan implikasi yang jelek terhadap pendidikan agama itu sendiri. Secara teoritis dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.[13][6]
Berangkat dari definisi di atas dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisahan atau pembagian suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya memiliki makna yang berbeda. Dilihat dari kacamata Islam, bahwa ia menganggap ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang utuh dan integral.
Dewasa ini, bila dicermati para ilmuan cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Sehingga hal inilah yang mendorong Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-Faruqi untuk mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka merupakan pelopor istilah islamisasi ilmu pengetahuan.[14][7] 
Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutip oleb Samsul Nizar dan Ramayulis zaman kemunduran Islam telah membawa umat Islam berada di anak tangga-tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di samping itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai akan syarat dengan nilai. Mensikapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan adalah cukup dengan mengislamisasikan ilmu tersebut tidak perlu orangnya. Tujuannya adalah agar yang mempelajari ilmu tersebut bisa terpola lansung pemikiran dan tingkahlakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu pengetahuan, jalan yang harus dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.[15][8]
Disisi lain, masyarakat muslim melihat akan kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Konsekuensinya adalah kaum muslim terkontaminasi oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sesuatu yang sangat dilematis apabila ingin maju dengan meniru cara dan gaya Barat tetapi justru yang didapatkan adalah kehancuran. Semuanya disebabkan ketidakmampuan menfilter dari apa yang diadopsi dari Barat tersebut.[16][9]
Akar munculnya dikotomi ilmu disebabkan oleh proses rekonstruksi ilmu itu sendiri. Proses Rekonstruktivisme tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat dan apa yang dibantah oleh Ibn Rusdy, dan apa yanng dipahami masyakat awam terhadap polemik tersebut sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi ilmu dan juga apa yang dilakukan oleh Barat dalam merekonstri ilmu telah memperdalam terjal terhadap pemahaman akan dikotomi ilmu pada masyarakat umumnya.
 Setidak-tidaknya ilmu pengetahuan itu ada dua. Pertama terbagi akan tiga yakni:[17][10]
1.      Ilmu Alam (Natural Science)
2.      Ilmu Sosial (Social Science)
3.      Ilmu Agama
Pendapat kedua, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu dibagi dua yakni :
1.      Natural Science
2.      Natural Social, untuk ilmu agama dimasukan atau dikelompokan ke dalam social science.
Demikianlah bila dicermati perkembangan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang menyebabkan lahirnya dikotomi (pemisahan) antara ilmu umum dengan ilmu agama dalam pendidikan.
D.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para pemikir Islam adalah pengintegrasian kembali ilmu umum dan ilmu keIslaman. Istilah yang popular dalam konteks integrasi ini adalah Islamisasi. Menurut Imadudin Khalil Islamisasi ilmu penngetahuan berarti melakukan suatu aktivitas keilmuan seperti mengungkap, mengumpulkan, menghubungkan dan menyeberluaskannya menurut sudut pandang Islam terhadap alam, kehidupan dan manusia. Sedangkan menurut al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dengan wawasan (vision) Islam.[18][11]
Upaya pengintegrasian ilmu pengetahuan itu telah diupayakan oleh pemikir Islam di antaranya Al Faruqi dari Temple University, ia menyebut proses integrasi tersebut dengan istilah islamisasi.[19][12] Upaya yang dilakukan dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan adalah meletakan prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistimologi ilmu pengetahuan. Bagaiamana ilmu-ilmu yang berkembang diIslamisasikan. Sebagai tolak ukurnya adalah penyesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah.
E.     Penutup
Sebagai kesimpulan dari paparan makalah ini adalah sejarah dikotomi tersebut sudah dimulai sejak abad pertengahan atau masa kemajuan Islam periode Abbasiyah. Dalam Islam sesungguhnya tidak ada pemilahan ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama merupakan sesuatu yang integral. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama dianalogikan ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, seperti itulah Islam memandang keduanya tersebut.
 Bila ilmu disikapi dengan dikotomi maka tentu akan melahirkan pemikiran yang berbeda dalam membangun peradaban dunia, namun bagaimana mengintegralkan dikotomi pengetahuan tersebut. Konsep yang ditawarkan dalam mensikapi dikotomi ini adalah apa yang yang disebut oleh al-Faruqi dengan Islamisasi ilmu yakni proses filterisasi terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat dengan landasan atau disesuaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Daftar Pustaka
Bakir, R. Suyoto dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang: KARISMA Publishing Group, 2009.
Daulay, H. Haidar Putra, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Nizar, H. Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2007.
http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011)





[20][1]  http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011)



[1][1] John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992), h. 180.
[2][2] Abdurrahman Mas’ud , Menggagas format pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.17.
[3][3] Sardar, Ziauddin, Sains Teknologi, dan pembangunan di dunia islam, terjemahan. Rahmani Astuti, bandung : pustaka, 1989. Hal.65.

[4][4] ibid
[5][5] Op cit
[6][6] Fazlur Rahman, Islam, bandung : Pustaka, Cetakan ke V, 2003. Hal. 269
[7][7] Sardar, Ziauddin, Sains Teknologi, dan pembangunan di dunia islam, terjemahan. Rahmani Astuti, bandung : pustaka, 1989. Hal.76.

[8][8] Abdurrahman Mas’ud , Menggagas format pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal.111.
[9][2] H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008, h. 228.

[10][3]  http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011)
[11][4] R. Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang: KARISMA Publishing Group, 2009, h. 138.

[12][5] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 75.
[13][6] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011)

[14][7] Mujamil Qomar, Epistemologi..., h. 123.
[15][8]  http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011)

[16][9] H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan..., h. 231.

[17][10] Ibid, h. 232.
[18][11] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html (Online 03 Desember 2011).

[19][12] H. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, h. 192.

0 komentar:

Posting Komentar